Kartu Pos

4 comments
Oleh : Zoel Ardi


Jakarta, Juli 1996

            Aku berlari menyusuri gang-gang sempit itu. Almamater yang kukenakan sampai berkibar-kibar tertiup angin. Jalan becekpun tak kuhiraukan lagi, hingga sepatu taliku kotor terkena cipratan lumpur. Aku jadi teringat ketika kita dulu di kampung. Kita adalah dua sejoli yang tak pernah gentar oleh hujan. Sepulang sekolah, kita tetap melaju bersama meski harus menembus derasnya hujan. Terkadang, kita petik palapah pisang1 di depan sekolah sebagai pengganti payung. Meski kita tahu pada akhirnya tetap saja seragam putih abu-abu yang kita kenakan akan kelebas oleh air hujan.
            “Pas banget ya, Pak.” terengah-engah kuhampiri pria berseragam oranye itu. Hari ini adalah Jumat, hari yang paling kutunggu-tunggu. Sebab pada hari ini pak pos rutin mampir ke kosan untuk memberi kabar penting. “Ada kartu pos untuk aku nggak?”
            “Namanya siapa, Mas?” satu persatu ia periksa kartu pos yang dibawanya.
            “Hamdan.”
            “Hamdan Ghani, Ya?”
            Aku mengangguk.
            Pak pos itu lalu menyodorkan selembar kartu pos padaku. Setelah tersenyum sambil mengucap salam, dia berlalu dengan motor bebeknya yang senada dengan warna bajunya.
            Aku menatap kartu pos itu lekat-lekat. Sesungging senyum mewarnai wajahku. Aku langsung tahu kalau kartu pos itu datang darimu. Tanpa perlu kautulis namamu akupun sudah bisa menebaknya. Karena kamu saja yang menaruh prangko Presiden Soeharto terjungkir miring seperti itu. Dan terkadang kau menambahkan lambang hati pada bibir presiden itu. Selalu, aku terkikik dibuatnya.

Kapan Uda Hamdan pulang? Siti manunggu Uda di sini.

            Hanya sebaris kalimat itu yang kautulis. Tapi itu saja sudah cukup bagiku. Aku yakin, cinta jarak jauh yang telah kita rajut selama lima tahun ini akan berbuah manis pada akhirnya. Tugasku sekarang hanya tinggal menyelesaikan kuliah lalu mencari pekerjaan di kota besar ini. Setelah itu, aku akan pulang ke kampung untuk melingkarkan cincin di jari manismu.

Jakarta, Januari 1997

            Aku belum bisa kembali ke kampung. Sebab gaji pertama ini langsung kugunakan untuk menyewa rumah baru dan membeli kotak pos. Ya, kotak pos. Jika kemarin-kemarin kartu pos kirimanmu harus lewat ibu kos terlebih dahulu. Kini Pak Pos cukup menyelipkan kartu pos itu ke dalam kotak berwarna merah yang bertengger dekat pagar. Dengan begitu aku tidak perlu repot-repot menunggu kedatangan Pak Pos lagi. Cukup saja aku memeriksanya setiap Jumat sore atau malam.
            Di hari pertama ini, tak lupa kukirimkan alamat baruku padamu. Lengkap dengan kode posnya. Aku juga menuliskan maaf di dalam kartu pos itu. Permohonan maaf karena aku tak bisa lagi membalas surat rindumu secara rutin. Sepertinya mulai sekarang, pekerjaan akan benar-benar menyita waktuku. Aku akan jarang menyambangi kantor pos, yang berarti aku juga akan jarang membeli kartu pos beserta prangko murah bergambar Presiden Soeharto.
            Jadi kini ketika rindu itu tiba-tiba datang, aku hanya bisa menghitung-hitung dan membaca kembali kartu pos yang pernah kaukirim. Lalu setelah itu kubiarkan kartu posmu bertebaran di atas kasur. Dengan begitu, aku bisa merasakan dirimu selalu ada di sisiku.
Jakarta, Juni 1998
            Kau mengirimi aku surat lagi. Lebih tepatnya balasan dari suratku minggu lalu. Di surat itu tampak sekali kekecewaanmu lantaran aku lagi-lagi gagal kembali ke kampung. Jika alasan sebelum-sebelumnya adalah karena aku belum mendapat giliran cuti. Kali ini aku berdalih tentang carut-marut negara kita.
            Kebusukan Orde Baru menyebabkan ekonomi negara terperosok. Begitu ungkapku. Krisis moneter yang melanda bukan hanya berefek pada keterpurukan Indonesia. Akupun terkena imbasnya. Perusahaan secara besar-besaran memecat karyawannya. Memang aku tidak masuk dalam daftar korban yang dijerat PHK. Hanya saja, mereka dengan semena-mena menurunkan gajiku. Aku terima saja. Toh, di saat genting seperti ini yang bisa kulakukan hanyalah bertahan.
            Jadi mulai sekarang aku harus berjibaku menghadapi peliknya kehidupan. Harga-harga yang semakin mencuat benar-benar membuatku kualahan. Uang tabungan terpaksa aku kerahkan untuk menutupi segala kekurangan. Miris sekali memang. Tapi itulah yang terjadi padaku dan juga menimpa negara kita.

Jakarta, September 1998
            Aku baru saja pulang dari kantor pos. Selain kartu pos, kini aku rutin membeli blangko wesel. Setiap awal bulan kusisihkan sebagian gajiku untuk kukirim ke kampung. Di kolom pengirim, kutuliskan namaku. Dan di kolom penerima, tak lupa kutuliskan namamu.
            Awalnya kau menolak rencana ini. Tapi aku berkeras bahwa ini untuk kebaikan kita jua. Meski sedikit, setidaknya uang itu nanti akan sangat berguna untuk masa depan kita.

Pitih2 tu nanti kito gunakan untuak baralek3 kito. Ndak perlu pesta mewah atau meriah. Cukup hajatan paling sederhana, kito undang dunsanak dakek4 sajo.

            Begitu kataku di salah satu kartu pos. Tapi entah mengapa, kau masih saja sungkan. Kau seakan terima niat baikku itu dengan setengah hati. Tapi aku sama sekali tak peduli. Tiap bulan aku akan tetap ke kantor pos, mengirimi wesel itu ke alamatmu.

Jakarta, Mei 1999
            Aku memang sengaja tak memberitahumu kalau seminggu lagi aku akan pulang. Kubiarkan ini sebagai kejutan untukmu. Namun sore itu, bukan hari Jumat, kau mengirimi aku surat. Dan itu bukan kartu pos yang biasa kaukirim untukku. Kali ini kaugunakan amplop berwarna cokelat. Di sudutnya ada prangko bergambar burung Cendrawasih, jenis prangko mahal untuk kiriman kilat. Kenapa bukan prangko yang biasanya saja. Prangko murah bergambar Presiden Soeharto, yang meski agak lelet, tapi kaupastikan itu akan tetap sampai tujuan.
            Aku kalah cepat dalam permainan ini. Kau yang menang, yang lebih dulu memberikan kejutan untukku. Aku tertegun saat menemukan sepucuk surat undangan terselip di dalam amplop cokelat itu. Sebuah undangan pernikahan yang sangat cantik, menurutku.
            Lalu dari undangan itu, aku melihat ada namamu : Siti Kholisoh. Serta-merta air ludah yang telah terkumpul di tenggorokan kutelan lagi. Di situ namamu tengah bersanding mesra dengan nama seorang pria. Bukan namaku! Ya, tak ada nama Hamdan Ghani di sana. Melainkan orang lain yang baru kudengar namanya.
            Ah, tunggu. Ternyata ada juga namaku, tertera di kotak putih itu. Ya, kolom yang biasa disediakan untuk nama para undangan, di atas namaku tertulis : Mohon maaf jika ada kesalahan nama / gelar.
            Dadaku kian bergemuruh. Pandanganku telah tersaput oleh air mata. Kutelusuri lagi isi surat itu. Ada sebersit lega saat mengetahui kapan hajat nikahmu digelar. Sekitar seminggu lagi. Syukurlah, bukankah pada hari itu aku sudah ada di kampung. Itu artinya aku akan sempat menyaksikan betapa cantiknya dirimu dibalut gaun pengantin di singgasana pelaminan.
            Aku mencoba menguatkan hati. Kuabaikan rasa sakit yang tak tertahan ini. Aku pastikan perih ini bukanlah pertanda aku membencimu. Tidak. Sekalipun tak pernah ada pikiran seperti itu. Hanya saja aku sedikit terkejut menerima kabar tak terduga ini.
            Aku jadi ingat dua bulan yang lalu pernah kukirimkan kartu pos untukmu, yang kurang lebih isinya :

Maaf Uda belum tahu kapan akan pulang. Tarimokasih atas panantian Siti salamo ini. Wesel itu memang rencananya untuk baralek kito. Tapi bila salamo panantian itu ada yang malamar Siti, pakai sajo tabungan itu. Karena Uda memang meniatkan uang itu untuk pernikahan kita berdua, atau salah satu dari kita.

            Dan rupanya hari ini balasan kartu pos itu datang ; sepucuk undangan pernikahan.
 
TAMAT
---------------------------------------------------------------------------

*Terinspirasi dari puisi Hasan Aspahani : 'Apa yang Kuingat tentang Kau dan Benda-benda Pos'

1Pelepah pisang
2Uang
3Pernikahan
4Kerabat dekat

4 comments

sukabaca 10 November 2011 pukul 15.04

hiks... begitu banget ceritanya...

sad ending T_T

Elfrida Chania 10 April 2012 pukul 06.45

Sedih :(

outbound training malang 26 Juni 2012 pukul 08.35

kunjungan gan .,.
saat kau kehilangan arah ingatlah masih ada yang menolong mu
dan tetap berdoa mengharap untuk menemukan jalanmu.,.
di tunggu kunjungan balik.na gan.,.

Outbound di Malang 20 September 2012 pukul 09.47

nice post :)
ditunggu kunjungan baliknya yaah ,

Posting Komentar

Terimakasih atas kunjungannya =D